Energ
terbarukan (EBT) mulai di lirik setelah diadakannya Earth Summit di Rio De
Jeneiro pada tahun 1992 dimana dibahas tentang pemanasan global yang di duga
adalah akibat kegiatan ekonomi manusia yang menyebabkan meningkatnya emisi gas
rumah kaca (GRC) ke atmosfir yang salah satu komponen terbesar nya adalah emisi
karbon dimana kontributor no 2 terbesar adalah transportasi dan energi.
Sejak
itu penggunaan EBT sebagai pembangkit listrik alternatif yang tidak menghasilkan
emisi karbon terus di meningkat walaupun secara ekonomi beberapa masih mahal di
banding sumber energi fossil tetapi demi menekan GRK maka EBT sering di berikan
subsidi dalam berbagai bentuk. Memang EBT adalah bentuk energi yang sangat
ideal untuk masa depan kehidupan manusia, tetapi saat ini EBT bukan tanpa
masalah yang terkadang di kesampingkan. Tulisan ini mencoba membahas beberapa
permasalahan utama EBT secara umum.
Energi
terbarukan dapat di artikan sebagai energi yang terus menerus dapat menghasilkan
daya tanpa harus ada masukan bahan bakar, seperti Angin, Surya, Gelombang Laut,
Panas Bumi dan energi baru adalah jenis energi yang tidak memakai bahan bakar
fosil, seperti Nuklir dan Biomassa.
Energi
Terbarukan (EBT) dapat di klasifikasikan menjadi bagi 2 berdasarkan sifat
pasokan dayanya yaitu intermiten
dan primer. Intermiten adalah
energi yang tidak dapat memberikan daya 24 jam/sehari atau secara kontinyu
seperti Angin dan Surya. Sementara Primer adalah yang sifatanya dapat di
andalkan untuk mensuplai daya secara kontinyu 24 jam/sahari seperti : Air,
Panas Bumi, Biomassa dan Nuklir.
Tentunya
PREMIS UTAMA dari Energi Terbarukan adalah : Tidak Menghasilkan Gas Rumah
Kaca.. tapi kita akan lihat bahwa premis tersebut sesungguh tidak dapat
tercapai paling tidak saat ini.
Masalah 1 : Penyimpanan
Dikarenakan
sifatnya yang tidak dapat memasok daya secara kontinyu atau selama 24 jam
nonstop, sebagai contoh tenaga surya, tentunya pada malam hari tidak dapat
menghasilkan daya sehingga biasanya hanya ada solusi bagi intermiten yaitu :
hybrid dengan fossil biasanya Diesel dan gas turbin atau disimpan seperti
baterai dan sistim penyimpanan energi lainnya yang non-baterai.
Karena
alasan inilah biaya listrik intermiten menjadi mahal dan sering mendapatkan
subsidi yang di sebut Feed-in-Tariff (FIT) untuk surya biasanya sekitar 25 sen
USD/Kwh sementara harga jual listrik ke masyarakat rata-rata 9 sen USD/kwh.
Di
Indonesia biasanya sangat jarang di lakukan penyimpanan energi, di karenakan
sistim penyimpanan baterai bisa mencapai $200 - $500 per Kwh, sangat mahal
tetapi lebih banyak di pakai sistim Hybrid dengan Genset diesel yang akhirnya
membuat emisi karbon padahal awalnya memakai energi terbarukan adalah untuk
menekan emisi karbon tapi justru malah meningkatkan.
Sesungguhnya
ada beberapa jenis sistim penyimpanan energi lainnya yang bukan baterai. Salah
satu yang paling handal adalah Pump Hydro.
Pump Hydro Adalah sistim penyimpanan
energi mempergunakan air yang sudah terbukti handal yang berkerja dengan
gravitasi. Saat jam puncak air di jatuhkan dari dam untuk menggerakan turbin.
Lalu ketika beban tidak puncak, turbin memompa air lagi ke atas. Indonesia
memiliki hanya satu Pump Hydro yang sedang di bangun di PLTA Cisokan
menghasilkan daya 1040 MW dengan total biaya USD 800 Juta dimana USD 640 adalah
bantuan Bank Dunia. Pump Hydro sering di pakai untuk melakukan balancing load
dari grid listrik karena memiliki kemampuan untuk menyimpan energi saat beban
rendah dan mensuplai pada saat beban puncak. Biaya penyimpanan energi Pump
Hydro saat ini adalah yang termurah dan paling banyak di gunakan di dunia
dengan kapasitas terpasang di dunia mencapai 127,000 MW dengan biaya investasi
sekitar USD100 – USD200 per Kwh energi yang di hasilkan. Pump Hydro juga sering
di pergunakan untuk menyimpan energi dari sistim Pembangkit Tenaga Angin.
Perbedaan
utama Pump Hydro dengan PLTA lainnya adalah tidak membutuhkan volume air yang
besar dan area yang luas karena air di putar naik kembali sehingga turbin dapat
berkerja dua arah dibanding PLTA pada umumnya dimana turbin satu arah.
Masih
ada beberapa sistim penyimpanan energi lainnya yang tidak akan kami bahas satu
persatu, tetapi kami berikan linknya
untuk di baca lebih mendalam.
Masalahnya
di Indonesia permasalahan penyimpanan energi di Indonesia hanya di jawab dengan
hybrid dengan fosil padahal ada beberapa solusi penyimpanan yang biaya nya
lebih murah daripada melakukan hybrid karena tanpa menjawab permasalahan
penyimpanan maka intermiten energi hanya menjadi beban yang kurang dapat di
andalkan apalagi dengan subsidi yang terus di berikan dalam bentuk FIT.
Masalah 2 : Faktor Kapasitas
Permasalahan
berikutnya dari intermiten adalah faktor kapasitas (capacity faktor/FK) yaitu rasio dari output yang
sebenarnya dibanding potensi output bilamana beroperasi selama 24 jam. Faktor
Kapasitas intermiten adalah yang terendah dibanding jenis pembangkitan lainnya.
Rata-rata FK Angin 31% dan Surya 23% - 30% bandingkan dengan Panas Bumi 66% dan
PLTU batubara 58%, sementara Nuklir adalah yang tertinggi 90% - 95%. --
Jadi bila dikatakan bahwa Kapasitas Terpasang Pembangkit Tenaga Surya (PLTS) 10
MW maka sesungguhnya daya yang di hasilkan hanyalah 20% - 25% jadi tidak lebih
dari 2,5 MW. Jadi Kekurangan 75% nya harus di hybrid dengan Genset atau Gas -
artinya sama juga meningkatkan emisi gas rumah kaca.
Kita
tahu bahwa Photovoltaic sangat berpengaruh terhadap panasnya sinar matahari,
sehingga sedikit saja awan menutup matahari maka daya yang di hasilkan akan
turun dan hal tersebut dapat terjadi beberapa kali dalam sehari - Hal yang sama
dengan angin yang tidak dapat meniupkan angin secara konsisten dengan kecepatan
yang sama. Hal ini bukan saja menyebabkan Faktor kapasitas yang rendah tetapi
juga membuat masalah dalam menyeimbangkan beban dalam grid bila daya
turun-naik.
Faktor
kapasitas adalah konsideran penting dalam mendesain sebuah perencanaan energi
karena bila proporsi sumber pembangkitan lebih benyak dengan faktor kapasitas
rendah maka akan mempengaruhi efisiensi, keseimbangan beban dan pada akhirnya
harga jual listrik menjadi mahal. – Sebaiknya rerata FK dalam sebuah grid harus
di atas 50% untuk menjamin pasokan yang lancar.
0 komentar:
Posting Komentar