Visi Ekonomi Digital Indonesia 2020 (Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika)
Pemerintah Indonesia di era Presiden Joko Widodo memiliki sebuah visi besar dalam sektor ekonomi digital. Bagaimana tidak, Jokowi menargetkan Indonesia untuk menjadi kekuatan ekonomi digital terbesar di ASEAN pada 2020, dengan proyeksi nilai transaksi e-commerce mencapai 130 juta US Dollar pada tahun 2020. Meskipun visi ini terkesan ambisius, namun Pemerintah memiliki dasar yang kuat dalam mencanangkan target ini. Salah satu alasan yang kuat adalah melihat fakta bahwa perilaku masyarakat Indonesia sangat berorientasi digital. Data dari Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) serta We Are Social menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia berada di kisaran 52%, dan sebagian besar diantaranya mengakses internet secara mobile selama 4 jam per hari. Lebih jauh, saat ini terdapat 370 juta kartu SIM aktif di Indonesia, jauh lebih besar dari populasi Indonesia yang sudah hampir mencapai 270 juta penduduk.
Banyak faktor yang mendorong perkembangan dinamika digital di Indonesia, namun setidaknya dapat dibagi dalam dua perspektif: industri dan konten. Dari sisi industri, terlihat bahwa operator telekomunikasi berlomba-lomba membangun infrastruktur secara masif, mulai dari jaringan 2G, 3G, hingga 4G. Tidak hanya itu, terjadi persaingan antar operator yang cenderung tidak sehat dan menimbulkan perang tarif, dimana operator menurunkan harga serendah-rendahnya untuk menaikkan utilisasi jaringan mereka. Hal ini juga makin diperkuat oleh menjamurnya smartphone murah yang sesuai dengan daya beli masyarakat menengah ke bawah. Walaupun perang tarif berdampak buruk bagi industri telekomunikasi, tapi dampaknya terhadap masyarakat sangat terasa, dimana telekomunikasi kini tidak lagi dianggap sebagai barang mahal. Sedangkan dari sisi konten, menggeliatnya penggunaan media sosial seperti Facebook dan Twitter serta munculnya aplikasi chat seperti BlackBerry Messenger (BBM) dan WhatsApp menjadi pendorong utama penetrasi data di Indonesia.
Meskipun perilaku digital masyarakat Indonesia menunjukkan tren yang meningkat, faktanya infrastruktur telekomunikasi di Indonesia belum terbangun secara merata. Pembangunan infrastruktur yang masif hanya terlihat di kawasan Jawa dan Sumatera, sedangkan di kawasan timur Indonesia infrastruktur telekomunikasi yang ada masih jauh dari memadai. Akibatnya jelas, kesenjangan digital sangat nyata terjadi di Indonesia. APJII mencatat bahwa 70 juta pengguna internet Indonesia berpusat di pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Sedangkan total semua pengguna internet di Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua hanya sebesar 5.9 juta. Fakta ini pun juga terlihat dari posisi Indonesia di sejumlah index yang dikeluarkan berbagai lembaga, seperti Networked Readiness Index (NRI) dan GSMA Mobile Connectivity Index. Posisi Indonesia masih kalah jauh bahkan bila dibandingkan oleh negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Thailand.




Kesenjangan digital yang nyata di Indonesia (Sumber: Opensignal.com)
Tren Ekonomi Digital di Indonesia


Terlepas dari pembangunan infrastruktur yang belum merata, industri ekonomi digital di Indonesia bisa dibilang sangat menggeliat. Hal ini ditandai dengan tumbuh pesatnya berbagai perusahaan rintisan (start-up) yang berbasis aplikasi. Data dari situs startupranking.com mencatat bahwa saat ini terdapat 1463 start-up di Indonesia. Angka ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah start-up terbesar ketiga di dunia, hanya kalah dari Amerika Serikat dan India. Menariknya, tren pertumbuhan start-up ini dipelopori oleh para generasi muda yang memiliki semangat sociopreneurship, yakni bagaimana mereka dapat menyelesaikan berbagai masalah yang ada di masyarakat serta memberikan dampak yang signifikan lewat medium teknologi. Salah satu contohnya adalah bagaimana Nadiem Makarim mendirikan Go-Jek untuk mempermudah masyarakat dalam mendapatkan moda transportasi ojek yang cepat dan dapat diandalkan. Contoh lain adalah William Tanuwijaya, CEO Tokopedia yang awalnya punya visi untuk mempermudah siapapun agar dapat memulai bisnis mereka sendiri lewat medium internet.
Ekonomi digital memang memiliki dampak yang signifikan terhadap pembangunan di Indonesia. Laporan dari Oxford Economics (2016) menyebutkan bahwa keberadaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan jumlah lapangan kerja di Indonesia. Secara khusus, setiap 1 persen peningkatan penetrasi mobile diproyeksikan menyumbang tambahan 640 juta US Dollar kepada PDB Indonesia serta membuka 10.700 lapangan kerja baru pada tahun 2020. Kontribusi sektor TIK makin terasa signifikan terhadap PDB Indonesia, mengingat sektor TIK menyumbang 7.2 persen dari total PDB Indonesia. Walaupun angka ini masih jauh dibandingkan sektor lain, namun sektor TIK mengalami pertumbuhan sekitar 10 persen yang merupakan pertumbuhan terbesar dibandingkan sektor lain. Pertumbuhan ini pun juga jauh lebih besar dibandingkan pertumbuhan rata-rata PDB nasional yang hanya 5 persen. Maka tidak mengherankan jika pemerintah Indonesia menaruh perhatian yang besar terhadap sektor ekonomi digital.
Lantas, apa saja tren pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia? Setidaknya terdapat 3 sektor yang sedang mengalami pertumbuhan pesat, yaitu on-demand services, financial technology (fintech), dan e-commerce. Di sektor on-demand services, Go-Jek menjadi pelopor utama dengan layanan pemesanan ojek berbasis aplikasi. Meskipun sudah berdiri sejak 2010, namun Go-Jek sendiri baru merilis aplikasi pada tahun 2015, dan sejak saat itu pertumbuhan layanan berbasis on-demand menjadi tumbuh pesat di Indonesia. Mengusung slogan an ojek for every need, Go-Jek memfasilitasi hampir semua layanan secara on-demand, mulai dari pengiriman barang, pemesanan makanan, bahkan hingga hal-hal yang tak terpikirkan sebelumnya seperti jasa cuci mobil dan bersih-bersih rumah.
Dampak yang ditimbulkan Go-Jek sangat signifikan. Dampak positifnya sudah jelas, Go-Jek mendorong pertumbuhan lapangan kerja baru yang menjanjikan yang dapat memberikan pemasukan lebih dibanding industri konvensional dengan jam kerja fleksibel. Selain itu, Go-Jek juga mencoba menjadi solusi atas absennya pemerintah dalam menyelesaikan masalah kemacetan dengan menawarkan mobilitas yang tinggi. Namun, banyak pula dampak disruptif yang ditimbulkan Go-Jek, terutama terhadap para ojek dan taksi konvensional. Penghasilan yang menurun dan kompetisi yang dirasa tidak adil menjadi pemicunya, sehingga banyak terjadi penolakan di daerah-daerah bahkan sampai berujung anarkis. Pemerintah pun berusaha turun tangan dengan meregulasi para pemain baru ini, namun regulasi yang ada terkesan terlalu berpihak kepada para pemain lama. Menarik untuk diikuti bagaimana dinamika kedepannya, mengingat tren layanan seperti ini masih akan tumbuh pesat dalam beberapa tahun kedepan.
Industri Fintech juga menjadi salah satu primadona yang sedang berkembang pesat di Indonesia. Laporan dari DailySocial mencatat bahwa dalam dua tahun terakhir pertumbuhan fintech start-up mencapai 78%, dan sebagian besar fokus di sektor pembayaran. Hal ini wajar mengingat fakta bahwa saat ini hanya 36% dari orang dewasa di Indonesia yang memiliki rekening di bank. Padahal, teknologi finansial adalah enabler penting bagi kesuksesan ekonomi digital. Selain itu, dampak dari fintech sendiri sangat terasa dalam hal mempromosikan layanan finansial yang inklusif. Dengan adanya fintech, masyarakat dapat melakukan pembayaran lewat pulsa telepon ataupun lewat minimarket secara mudah dibanding harus melakukan transfer lewat bank. Menyadari pertumbuhan industri fintech ini, pemerintah lewat Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersikap sangat supportif dengan menyusun peraturan mengenai peer-to-peer Fintech lending serta membuka Bank Indonesia Fintech Office (BI FTO) untuk memantau segala dinamika pertumbuhan industri fintech di Indonesia.
E-commerce juga menjadi industri yang mengalami pertumbuhan signifikan di Indonesia. Hal ini didasari fakta bahwa 8 juta masyarakat Indonesia sudah berbelanja secara online dan diprediksi terus meningkat. Perilaku konsumtif dan digital dari masyarakat Indonesia, ditambah meningkatnya jangkauan pasar menjadi pendorong utama. Tren ini pula yang membuat banyak pemain yang selama ini berjualan secara offline turut membuka toko online. Meski begitu, sektor e-commerce di Indonesia baru berkontribusi sebesar 0.8% dari total penjualan ritel, jauh dibawah Tiongkok (11%) dan Amerika Serikat (8%). Untuk itu, sesuai visi ekonomi digital 2020 yang dicanangkan Presiden Joko Widodo, Indonesia mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk mendukung ekosistem e-commerce di Indonesia, seperti Paket Kebijakan Ekonomi 14 tentang peta jalan e-commerce, 1 juta domain name gratis, digitalisasi 50 juta UKM, dan gerakan 1000 start-up digital.
Penutup
Melihat potensi yang besar di Indonesia, Visi Ekonomi Digital Indonesia 2020 bukanlah sebuah mimpi yang tak mungkin dicapai. Namun, ada sejumlah tantangan yang harus diselesaikan bersama, tidak hanya oleh Pemerintah Indonesia tapi juga oleh berbagai pihak terkait. Pertama, mengurangi kesenjangan digital di Indonesia. Pemerintah harus memastikan bagaimana masyarakat Indonesia dimanapun mereka berada bisa mendapatkan akses yang sama kepada layanan telekomunikasi, mengingat infrastruktur adalah syarat utama kesuksesan ekonomi digital. Hal ini memang menjadi salah satu perhatian Pemerintah lewat peluncuran rencana pitalebar Indonesia 2014-2019 dan penyelesaian pembangunan Palapa Ring di kawasan Indonesia Timur. Rencananya, proyek ini akan selesai pada 2019 sehingga diharapkan akses ke jaringan telekomunikasi akan semakin baik.
Isu kedua adalah terkait SDM. Walaupun start-up digital mengalami pertumbuhan yang masif, namun kebanyakan dari mereka mengalami kesulitan dalam hal menemukan talenta yang berkualitas dan sesuai kebutuhan industri. Akibatnya, sering terjadi talent war antar start-up dimana seorang talenta berkualitas menjadi rebutan berbagai start-up. Salah satu yang menjadi akar permasalahannya adalah sektor pendidikan tinggi Indonesia yang belum dapat menghasilkan SDM yang sesuai kebutuhan industri. Mengingat pentingnya SDM sebagai kunci peningkatan daya saing start-up Indonesia di kancah internasional, kolaborasi sektor bisnis dan akademik perlu ditingkatkan kembali sehingga tidak terjadi mismatch antara kedua sektor ini.
Terakhir, regulasi selalu menjadi isu utama jika kita bicara tentang start-up dan disruptive innovation. Faktanya, regulasi memang selalu tertinggal dibandingkan dinamika pertumbuhan teknologi yang sangat pesat. Namun, yang perlu dipastikan adalah bagaimana Pemerintah bersama pihak-pihak terkait dapat menyusun regulasi yang adaptif dan tidak mematikan inovasi digital. Pemerintah saat ini telah menunjukkan tren yang positif dalam hal penyusunan regulasi, namun di internal Pemerintah sendiri terdapat perbedaan perspektif dalam menanggapi inovasi digital. Contoh yang terlihat adalah bagaimana para pemain baru di sektor on-demand transportation terkesan mendapatkan regulasi yang tidak suportif dengan menyamakan mereka dengan para pemain lama. Namun di sisi lain sektor Fintech dan e-commerce mendapat perhatian dan dukungan yang sangat banyak. Belum lagi isu-isu lain seperti perlindungan data konsumen, keamanan transaksi dan isu-isu lain yang masuk dalam ranah cyber security. Lebih jauh, keberadaan sebuah badan khusus yang fokus mengkoordinasikan isu-isu terkait ekonomi digital menjadi sebuah keharusan, mengingat selama ini isu ekonomi digital diurus secara "keroyokan" oleh berbagai instansi pemerintah. Bila semua tantangan ini bisa ditangani secara serius, dan semua potensi yang ada bisa dimaksimakan, bukan tidak mungkin kita akan melihat Indonesia berjaya sebagai kekuatan ekonomi digital di ASEAN bahkan di dunia. Semoga visi besar ini bisa terwujud.
Penulis adalah peneliti di Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Jakarta.

Advertisement

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top